Etika Perjodohan dalam Islam: Wajib atau Bebas Pilih?
Islam dan Tuntunan Hidup yang Berimbang
Islam dikenal sebagai agama yang memberikan pedoman hidup menyeluruh bagi umatnya. Segala aspek kehidupan, mulai dari ibadah hingga hubungan sosial, memiliki aturan dan nilai moral yang jelas. Namun, Islam juga memberi ruang kebebasan bagi manusia untuk mengatur urusan-urusan duniawi selama tidak bertentangan dengan syariat.
Salah satu hal yang diatur secara bijak adalah perjodohan. Islam tidak menentukan secara kaku siapa yang harus menjadi pasangan seseorang. Tidak ada ketentuan bahwa anak seorang pejabat, misalnya, harus menikah dengan kalangan tertentu. Sebaliknya, Islam hanya memberikan garis besar dan prinsip etika dalam memilih pasangan hidup.
Bahkan di dalam Islam meski terdapat dalil yang mengisyaratkan kebolehan seorang pria menikahi 4 orang wanita sebagai istrinya sekalipun juga disertai dengan batasan berupa manakala tak mampu adil, maka cukup satu saja. Sebagaimana termaktub di dalam firman-Nya surah an-Nisa ayat 3, berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan apabila engkau takut tak mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (tatkala engkau menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian apabila engkau takut tak mampu berlaku adil, maka (nikahilah) satu orang wanita saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang seperti itu merupakan pilihan lebih dekat agar tidak berbuat aniaya.” [An-Nisaa/4: 3]
Dari dalil di atas, kita dapat mengetahui bagaimana Islam memberikan panduan hidup yang sifatnya seimbang, sehingga kita sebagai manusia tidak semena-mena menjalani kehidupan tanpa aturan.
Peran Orang Tua dalam Perjodohan
Dalam tradisi banyak masyarakat Muslim, orang tua sering mengambil peran dalam menjodohkan anak-anak mereka. Niat mereka tentu mulia — memastikan anaknya mendapatkan pasangan yang baik, berakhlak, dan bertanggung jawab. Mereka ingin melindungi putra-putrinya dari pasangan yang berperilaku buruk, seperti suka berkhianat, kasar, atau tidak beriman.
Namun, dalam Islam, hak anak tetap dijunjung tinggi.
Orang tua tidak boleh memaksakan kehendak tanpa mempertimbangkan izin dan persetujuan anaknya. Hal ini penting untuk menjaga kebahagiaan sang anak dan menghindari konflik dalam keluarga.
Bagi seorang gadis perawan, orang tua perlu meminta izinnya sebelum menjodohkannya dengan seseorang. Sedangkan bagi wanita janda, persetujuan yang jelas dan tegas dari dirinya wajib diperoleh sebelum akad nikah berlangsung.
Bahkan kasus demikian juga pernah terjadi pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau juga memberikan solusi terbaiknya.
Dalam kitab Shahih al-Bukhari, diriwayatkan dari Abu Salamah bahwa Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menyampaikan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hak persetujuan wanita dalam pernikahan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan: “Seorang janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai pendapatnya (perintahnya), dan seorang gadis (perawan) tidak boleh dinikahkan sampai dimintai izinnya.” Ketika para Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana bentuk izin seorang gadis?”, Beliau menjawab: “Izinnya adalah dengan diam.”
Riwayat lain dari Imam al-Bukhari melalui ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha juga memperkuat hal ini. Ketika ‘Aisyah berkata, “Ya Rasulullah, gadis perawan itu cenderung malu,” Beliau membalas: “Kerelaannya (ridha) terwujud dalam diamnya.”
Selaras dengan riwayat-riwayat di atas, Imam Muslim mencatat dari Ibnu ‘Abbas bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, memberikan penekanan yang jelas mengenai hak pilih wanita: “Janda memiliki hak yang lebih besar atas dirinya sendiri dibandingkan walinya. Sedangkan untuk gadis perawan, ayahnya harus meminta izin darinya terkait pernikahannya, dan bentuk izinnya adalah sikap diamnya.”
Terkadang, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan: “Dan diamnya adalah bentuk persetujuannya (pengakuannya).”
Prinsip ini menunjukkan bahwa persetujuan adalah syarat mutlak, bahkan untuk gadis yang dikenal pemalu. Sebuah kasus nyata juga dicatat oleh Imam al-Bukhari dari Khansa’ binti Khadzdzam al-Anshariyyah. Ketika ayahnya menikahkannya padahal ia seorang janda yang tidak menyukai pernikahan tersebut, Khansa’ segera datang menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadukan masalahnya. Setelah mendengar pengaduannya, Beliau membatalkan pernikahan tersebut.
Pandangan Ulama tentang Etika Perjodohan
Ulama besar Ahmad bin Hijazi al-Fasyani dalam kitab Mawahibush Shamad memberikan penjelasan penting tentang etika perjodohan. Ia menegaskan bahwa proses perjodohan tidak boleh menimbulkan permusuhan antara anak gadis dan ayah atau kakeknya:
“Ketahuilah, dalam perjodohan ini tidak boleh muncul permusuhan lahir antara anak gadis dengan ayah atau kakeknya.”
Artinya, orang tua perlu memperhatikan reaksi dan kehendak sang anak. Bila gadis itu diam saat dimintai pendapat, maka diamnya dianggap sebagai tanda persetujuan. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW:
“Gadis itu perlu dimintakan pendapatnya, dan persetujuannya ditunjukkan dengan diamnya.”
(HR. Muslim)
Ahmad Hijazi kemudian menjelaskan lebih lanjut:
“Apabila gadis itu tersenyum atau menangis haru, itu menandakan kerelaannya. Namun jika ia menangis keras, berteriak, atau menampar pipinya, maka hal itu menunjukkan bahwa ia tidak ridha dengan perjodohan tersebut.”
Akibat Memaksakan Perjodohan
Harga : *Belum termasuk Ongkos kirim